Generasi Z dan Krisis Identitas: Mencari Jati Diri di Tengah Derasnya Informasi

Minggu, 8 Juni 2025 09:16 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Generasi Z, Generasi Masa Depan Indonesia, Terbebani Dengan Ketidakpastian Kerja
Iklan

Tumbuh di era digital, generasi Z hadapi krisis identitas: mencari jati diri di tengah sorotan, scroll, dan standar dunia maya.

Pendahuluan:

Perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat telah mengubah banyak aspek kehidupan manusia, termasuk cara setiap orang memandang dan membentuk identitas dirinya. Generasi Z — mereka yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an — tumbuh dalam lingkungan digital yang kompleks, di mana internet, media sosial, dan teknologi komunikasi menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari mereka. Akibatnya, proses pencarian jati diri yang dahulu dipengaruhi oleh lingkungan keluarga dan masyarakat sekitarnya, namun kini turut dibentuk oleh algoritma, tren global, dan validasi digital.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Fenomena ini menimbulkan kondisi yang disebut sebagai krisis identitas —suatu keadaan ketika individu merasa bingung, terpecah, atau tidak yakin dengan siapa dirinya sebenarnya. Generasi Z atau biasa disebut Gren Z, yang sebagian besar masih berada dalam tahap perkembangan psikososial, menjadi kelompok yang rentan terhadap tekanan sosial dari dunia maya, ekspektasi yang tidak realistis, dan paparan terhadap informasi yang berlebihan serta kontradiktif. Hal ini diperparah oleh munculnya istilah populer seperti FOMO (Fear of Missing Out), comparison culture, hingga fenomena #KaburAjaDulu, yang mencerminkan keresahan mendalam terhadap lingkungan sosial dan keinginan untuk "melarikan diri" dari tekanan identitas lokal.

Dalam konteks ini, artikel ini berupaya untuk menggali lebih dalam mengenai krisis identitas yang dialami oleh Generasi Z atau Gen Z, dengan memadukan tinjauan teoretis, pengamatan sosial, serta referensi aktual dari pemberitaan dan fenomena yang sedang berkembang. Tujuannya adalah untuk memahami akar persoalan ini sekaligus mengeksplorasi pendekatan-pendekatan yang dapat membantu generasi muda menemukan kembali jati dirinya di tengah derasnya arus informasi.

 

Pembahasan

1. Karakteristik Generasi Z di Era Digital

Generasi Z adalah generasi pertama yang tumbuh sepenuhnya dalam ekosistem digital. Sejak usia dini, mereka telah terbiasa dengan internet, media sosial, dan perangkat canggih seperti smartphone. Menurut beberapa survei menerangkan bahwa, sebagian besar waktu mereka dihabiskan untuk mengakses informasi, membangun jejaring sosial, dan mengekspresikan diri secara daring melalui media social.

Namun, keterhubungan yang konstan ini bukannya tanpa konsekuensi. Di satu sisi, akses informasi yang luas memungkinkan Generasi Z untuk berkembang lebih cepat dalam hal wawasan dan kemampuan digital. Di sisi lain, mereka juga terpapar pada informasi yang kontradiktif, tuntutan sosial yang tinggi, serta pencitraan diri yang sering kali tidak realistis di dunia maya.

2. Krisis Identitas di Tengah Arus Informasi

Dalam teori psikososial Erik Erikson, krisis identitas adalah fase penting yang di alami remaja ketika mereka mencoba menjawab pertanyaan “siapa saya?”. Di era digital, fase ini menjadi semakin kompleks. Media social tidak hanya menjadi alat ekspresi, tetapi juga arena kompetisi sosial yang penuh tekanan. Validasi melalui “likes”, “followers”, dan komentar menciptakan standar eksistensi baru, yang sering kali bersifat semu.

Fenomena ini mendorong terjadinya krisis identitas digital, yakni kondisi dimana ketika seseorang atau individu merasa kehilangan jati diri karena terlalu terikat pada persona online-nya. Banyak remaja merasa harus tampil “sempurna” di dunia maya untuk diterima, meskipun bertentangan dengan realitas pribadi mereka.

3. Media Sosial dan Budaya Perbandingan

Salah satu pemicu krisis identitas adalah budaya perbandingan (comparison culture) yang dipupuk oleh media sosial. Saat seorang remaja melihat kehidupan teman sebaya atau tokoh publik yang terlihat ideal, muncul tekanan psikologis untuk menyamakan diri. Hal ini diperkuat oleh algoritma media sosial yang menampilkan konten serupa secara berulang, mempersempit pandangan individu dan membentuk ilusi bahwa “semua orang” menjalani hidup yang lebih baik.

Laporan dari RadarPena.co.id menyebutkan bahwa banyak anggota Generasi Z mengalamikecemasan sosial, FOMO (Fear of Missing Out), bahkan depresi karena tekanan sosial tersebut. Proses pembentukan identitas yang seharusnya bersifat eksploratif dan personal justru tergantikan oleh didorong untuk menjadi seperti orang lain.

4. Fenomena #KaburAjaDulu dan Kegelisahan Identitas Kolektif

Fenomena tagar viral #KaburAjaDulu yang ramai dibicarakan di media social atau media maya mencerminkan keresahan kolektif Generasi Z terhadap masa depan mereka di Indonesia. Banyak di antara mereka merasa tidak menemukan tempat yang cocok untuk berkembang, baik dari segi karier, pendidikan,maupun lingkungan sosial. Ini merupakan bentuk ekspresi dari krisis identitas dalam skala lebih luas — bukan hanya personal, tetapi juga kultural dan nasional.

Tagar ini mengisyaratkan bahwa sebagian Generasi Z merasa tercabuta dari akar identitas lokalnya dan lebih tertarik membangun identitas baru di luar negeri. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi negara dalam membina generasi muda yang memiliki rasa kebangsaan dan kepercayaan diri terhadap identitasnya sendiri.

5. Menuju Pemulihan: Literasi Digital dan Pendidikan Karakter

Untuk mengatasi krisis identitas pada Generasi Z, dibutuhkan pendekatan yang tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga etis dan psikologis. Literasi digital menjadi kunci penting agar generasi muda dapat menyaring informasi secara kritis, memahami algoritma media sosial, dan tidak terjebak dalam pencitraan semu yang nyatanya tidak akan bertahan lama.

Selain itu, pendidikan karakter yang menekankan pada nilai-nilai kejujuran, empati, keberanian, dan introspeksi diri perlu diperkuat, baik di lingkungan keluarga maupun institusi pendidikan. Proses pencarian identitas perlu difasilitasi dengan ruang aman untuk berekspresi, bukan ditekan oleh ekspektasi dan validasi eksternal.

Simpulan

Generasi Z menghadapi tantangan besar dalam proses pencarian jati diri akibat derasnya arus informasi dan dominasi media sosial. Eksistensi mereka kerap dikonstruksi melalui representasi digital, yang sering kali tidak mencerminkan kondisi diri yang sesungguhnya. Fenomena seperti FOMO, budaya perbandingan, dan tekanan untuk tampil sempurna di media sosial turut mendorong terjadinya krisis identitas,baik secara individu maupun kolektif.

Media sosial tidak hanya menjadi wadah ekspresi, tetapi juga ladang kompetisi simbolik yang memengaruhi kepercayaan diri dan kestabilan emosional Generasi Z. Fenomena #KaburAjaDulu menunjukkan bahwa krisis identitas ini bisa bereskalasi menjadi kegelisahan sosial yang lebih luas.

Oleh karena itu, solusi jangka panjang perlu difokuskan pada penguatan literasi digital dan pendidikan karakter. Kedua pendekatan ini diharapkan mampu membekali Generasi Z untuk menavigasi dunia digital dengan bijak dan membentuk identitas yang autentik, reflektif, dan kontekstual.

Daftar Pustaka

  1. Erikson, E. H. (1968). Identity: Youth and Crisis. New York: Norton.
  2. Goffman, E. (1959). The Presentation of Self in Everyday Life. New York: Anchor Books.
  3. com. (2023). Mengapa Generasi Z Rentan Krisis Identitas? Media Sosial Jadi Tersangka Utama.
    https://www.merdeka.com/sehat/mengapa-generasi-z-rentan-krisis-identitas-media-sosial-jadi-tersangka-utama-255881-mvk.html
  4. co.id. (2024). Dampak Negatif Media Sosial Bagi Kesehatan Mental Generasi Z: FOMO hingga Krisis Identitas.
    https://radarpena.disway.id/read/188577/dampak-negatif-media-sosial-bagi-kesehatan-mental-generasi-z-fomo-hingga-krisis-identitas
  5. (2024). KaburAjaDulu.
    https://en.wikipedia.org/wiki/KaburAjaDulu
  6. Prensky, M. (2001). Digital Natives, Digital Immigrants. On the Horizon, 9(5), 1–6.
  7. Livingstone, S., & Helsper, E. J. (2007). Gradations in digital inclusion: Children, young people and the digital divide. New Media & Society, 9(4), 671–696.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Lexanida Salsabila

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler